Malam itu dari Sambas, salah satu pusat keramaian di Kalimantan Barat kami memacu kendaraan meninggalkan kelap kelip lampu, menyeberangi Jembatan sungai Kapuas yang juga sebagai tanda fasilitas aspal dari negara kita ini berakhir. Satu dua kilo kami masih sempat menikmati jalan beton yang dibangun karena lunaknya tanah. Di kiri kanan kami menjumpai banyaknya lelong (istilah mereka untuk barang bekas) yang ternyata merupakan pasokan dari negara antah berantah.
Kami berhenti, melihat apa yang dijual. Jaket-jaket bertuliskan huruf China dan juga segala macam pakaian dalam kondisi masih layak dijual dengan harga murah, melupakan tingginya taraf hidup mereka dibandingkan dengan Yogya, kota tempat tinggal saya yang katanya murah tapi apapun sekarang dijual dengan harga yang tinggi.
Saya memperoleh dua buah jaket dengan kondisi masih sangat layak. Menggantikan jaket Reebok original saya yang mulai memudar digilas cahaya matahari setiap hari.
“Berapa bu?” tanya saya
“Lima puluh ribu” jawab seorang ibu di balik tumpukan karung-karung baju yang entah bagaimana masuknya ke negeri merah putih ini
“Dua puluh bu”, tawar saya dengan senyum kecil
Ibu itu tersenyum melihat saya sekilas dan kemudian menarik satu kantong tas plastik dari tumpukan.
Jaket nike yang saya yakin original itu berpindah ke tangan saya, menyusul satu buah jaket lagi dengan merk tidak jelas tetapi berbahan lebih halus. Sekali lagi dua puluh ribu berpindah ke tangan ibu itu.
Semudah itu menawar, tidak ada cemberut atau rasa keberatan dari ibu itu seperti halnya penjual lelong di Yogya yang harganya kadang melebihi jaket baru plus muka masam yang meninggalkan bekas ketika kita menawar dagangan mereka.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian kami kembali memacu kendaraan karena perjalanan dua jam masih harus ditempuh diantara jalan bebatuan bekas aspal yang sudah mencair ditelan zaman.
Satu perempatan kemudian kami belok kanan, menuju galing, kota terakhir sebelum Bendera Merah Putih menghilang digantikan dengan Jalur Gemilang-nya Malaysia di kota perbatasan: Aruk.
Kondisi jalan semakin parah ketika kami berhenti mengisi bensin dengan harga 9000 per liter. Ban depan kiri yang koyak pun tidak mampu menghadapi medan jalan yang penuh batuan besar itu. kami tetap memacu kendaraan walau ban depan sudah benar-benar tidak berisi angin dan power steering kendaraan yang rusak entah mulai kapan itu.
Bulan benar-benar bersinar cerah, bulat purnama menerangi jalan tanpa penerangan. Satu dua lampu menyembul di balik pepohonan seram yang memperjelas batas langit dan bumi.
Sang sopir pun menyerah. Beratnya kemudi karena tanpa power steering dan angin ban memaksa kami berhenti di tengah pemukiman ramai karena penduduknya baru kembali dari shalat Isya di masjid. Kami mendatangi sebuah bengkel yang sudah tutup dan justru disarankan ke rumah penduduk yang memiliki pompa angin.
Menyambangi rumah warga, kami perlu mengetuk pintu beberapa kali sebelum seluruh keluarga menghambur keluar menyambut kami, orang asing yang mengetuk pintu di malam hari. Dengan sedikit penjelasan mereka mengeluarkan pompa angin untuk membantu kami. Bapak itu berusaha cukup lama dengan pompa listriknya yang kecil, membutuhkan waktu hingga setengah jam sebelum ban bocor itu terisi angin penuh, dan dia tidak mau dibayar sepeserpun…
Usaha memompa ban membuat perjalanan nyaman selama sekitar setengah jam, kemudian ban mulai benar-benar kosong dan membuat kami berguncang-guncang keras sepanjang jalan. Tanpa aspal tapi pemerintah sudah menyediakan penerangan jalan yang cukup terang di beberapa titik menjelang sampai ke kota Galing.
Setelah kembali menemui jembatan, akhirnya sebuah jalan beton menyambut kami masuk ke kota Galing, kecil namun bersahabat. Delapan jam perjalanan dari Pontianak, dua jam dari Sambas menuju tepian negara Indonesia, Di situlah adik perempuan saya tinggal bersama suaminya, di rumah yang disulap menjadi sangat nyaman dan menenteramkan.
ndak ada foto rumah adiknya dan suasana di sekitarnya?
ada sih, nanti saya upload…hahaha