Empat hari saya di Galing, kota kecil di pinggiran negara merah putih itu. Terabaikan oleh pusat yang hingar bingar gedung tinggi, menyisakan penduduk yang diam dalam aktivitasnya. Galing begitu tenang sepengingat saya. Mereka berinteraksi di warung-warung kopi dengan sedikit kemewahan yang diambil dari negara jalur gemilang, Malaysia….
Sarawak hanya sepelemparan batu dari Galing, namun sulitnya medan membuat Kuching, salah satu kota terbesar di Malaysia tampak jauh di seberang sana. Ditambah lagi sebuah buku sakti bersampul hijau memang dibutuhkan untuk ke Kota Kuching yang memang sudah masuk wilayah Malaysia.
Galing yang berada di ekor Kalimantan itu memang terkucil dari keramaian-keramaian sekitarnya. Tidak ada aspal sejak bertahun-tahun yang lalu. Sisa kejayaan aspal sudah tertelan ditelan jaman, meleleh terpanggang sinar dan terendam paya-paya yang naik menggenang ketika bulan bersinar, menyisakan sebuah jalanan berdebu dengan masyarakat yang berdehem ketika melihat sebuah mal baru diresmikan di layar kaca mereka.
Adik perempuan saya telah tinggal disana, satu tahun terakhir ini. Saya mengunjunginya untuk melihat bagaimana wanita tangguh itu menjalani hidupnya, tidak mengeluh kepada siapapun di rumah, selalu bersuara penuh semangat di ujung kabel telefon sebelah sana, dan juga mengirimkan foto-foto menakjubkan kepada kami yang tersisa di rumah di Jawa yang penuh kemudahan ini.
Larut malam kami tiba di Galing, dengan satu ban bocor yang sudah kami biarkan sejak berkilometer yang lalu, membiarkan velg roda bergemeretak beradu tangguh dengan batu-batu jalanan tanpa ada angin di dalam ban mobil yang kami naiki. Masuk kota Galing, sebuah jalan mulus dengan bahan cor semen diselingi oleh jembatan kayu yang harus dilewati extra pelan-pelan agar tidak runtuh dan menyengsarakan seluruh penduduk. Oh, baiklah, tidak seindah yang diceritakan, tetapi menarik untuk menjalani hidup disana.
Kami tidak disambut senyum, muka muka muram itu membiarkan kami lewat sehingga dengan bencinya kami meniupkan debu jalanan ke wajah mereka, dan kopi-kopi yang tidak ditutup itu. Iya, ada satu dua yang memang tersenyum, dan menyiratkan keikhlasan sambil berkata: ” Terimakasih, sudah mau kembali kesini”
Bulan bersinar terang, dan kebetulan kami menjumpai purnama ketika sampai di rumah adik saya yang kecil tetapi nyaman. Selepas berhenti menjadi manager di kantor pusat sebuah perusahaan yang memiliki ratusan cabang, adik saya tampak masih ‘profesional’ bekerja sebagai istri yang tangguh bagi suaminya yang bertugas di kota seterpencil itu. Rumah tetap dijadikan tempat yang nyaman untuk tinggal.
Tiada yang spesial dari suasana rumah itu saya pikir, tapi horor dimulai ketika malam, saat bulan bersinar, pelan-pelan air seperti hidup, menembus semak-semak belukar di belakang rumah, dan mulai menggenangi rumah seakan hendak menelannya pelan-pelan. Sungai kapuas memang meluap menjadi berjuta-juta hektar lebih luas ketika malam, bahkan di rumah yang relatif jauh dari bibir sungai. Terjawab mengapa rumah itu didirikan sebegitu tinggi dari permukaan tanah dengan jembatan kayu yang dibuat ala kadarnya untuk keluar dari rumah.
Kekuatan alam yang menghancurkan itu tampak kontras dengan suasana rumah yang nyaman, dengan televisi tipis model terbaru dan sebuah microsoft X-Box menjadi kemenangan atas ketidaknyamanan yang diciptakan oleh alam Kalimantan Barat yang kini tandus karena keserakahan manusia akan kayu berkualitas bagus yang berpuluh-puluh tahun yang lalu berdiri kokoh menutupi ketandusan alam Kalimantan itu.
Hari berganti, saya mulai mencair, menikmati ketiadaan yang banyak saya temui. Kebetulan kami diundang upacara Saprahan, semacam kenduri di Galing. Kami makan beramai-ramai dalam satu tampah besar bersama orang yang mungkin tidak mengenal saya sama sekali kecuali pendatang yang mungkin akan terlibas sendiri dalam tiga empat hari. Mereka cukup menyenangkan, menawari kami untuk bergabung dan menjadi manusia asli yang seolah-olah dilahirkan dari akar pohon-pohon tua di Galing.
Memasak juga menjadi kesibukan saya selain mencoba kuliner-kuliner disana yang sangat sederhana. Siomay menjadi uji coba hari kedua saya disana. Ikan memang menjadi komoditas yang mudah didapat walau harganya menurut saya mahal karena memang menyesuaikan dengan ekonomi masyarakat luar jawa yang lebih tinggi.
Hari hari berikutnya, resep-resep dari olahan laut tetap menjadi ujicoba saya. Seperti kepiting, udang dan (akhirnya) ayam. Mereka tampak tidak mengenal cumi dalam menu sehari-hari. Dan terasa menyenangkan berkumpul kembali dengan saudara-saudara saya seperti setahun silam.
Satu hal yang sejak dari Pontianak menjadi curiosity saya:”warung kopi”. Kenapa sepanjang perjalanan hampir 300 kilometer itu banyak saya temui warung kopi dengan bangku merah – biru di pinggir-pinggir jalan. Menembus jalan berbatu, kami mencoba warung kopi sederhana yang paling dekat dengan rumah. Mereka menyambut dengan tersenyum setelah mengenali adik saya dan menyapa ramah.
Cofemix, Nutrisari, Sereal, Nasi Goreng, Mie Rebus terpampang jelas di sebelah projector bermerk toshiba yang mereka pasang di dinding menyiarkan pertandingan sepakbola dari tivi kabel. Sangat sederhana sekali pikir saya ketika mencoba untuk memahami bagaimana mereka menghabiskan jam demi jam setiap hari tanpa hiruk-pikuk seperti di rumah saya. Saya memesan nasi goreng yang menurut saya seperti nasi padprik dari Malaysia.
Kami berinteraksi, si penjual tampak tertarik untuk membuka pembicaraan, mengorek bagaimana budaya saya, dan membandingkannya dengan mereka. Banyak hal yang diceritakan termasuk bagaimana mereka sebenarnya ingin hidup di Jawa karena kemudahan yang mereka akan dapat, ironis..
Selain kedai kopi, lapangan futsal yang ternyata ada beberapa menjadi ajang interaksi di sana. Mereka memenuhi lapangan futsal di malam hari untuk mendapatkan kesenangan di tengah keheningan Galing. Hingar bingar yang diteriakkan membuat kota ini hidup, menyampaikan suara ke dalam hutan bahwa ada kehidupan disini dalam denyut yang paling tenang.
*****
Sore itu saya menjelajah lebih jauh, menuju bibir sepi mengunjungi Kapuas yang tenang di pinggiran kota. Walau begitu, pasar menghidupkan suasana hening yang diciptakan sungai. Banyak kapal motor bersauh dan hilir mudik yang lain membawa serta orang-orang yang hidup di daerah yang lebih dalam, lebih tenang dari ketenangan yang sudah saya dapat di kota kecil ini. Kapal klothok mereka menyebutnya, membawa motor-motor yang berinteraksi dengan Galing dari daerah daerah lain yang jauh kedalam bibir negeri.
Sebuah sampan membawa kami ke tengah tengah kemegahan Kapuas yang berkelok-kelok membelah Kalimantan. Senja tampak buru-buru menghampiri, tidak seperti lambatnya waktu di kota ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan tongkang-tongkang pembawa kayu puluhan meter kubik dan tanpa dilengkapi surat logging yang sah dari pemerintah, ya beberapa dari mereka adalah oknum-oknum ilegal logger yang menjarah bumi ini untuk kepentingan mereka sendiri. Sekali lagi saya tersenyum mencoba tidak terusik.
Sampan terus menerjang riak kecil yang diciptakannya sendiri, semakin masuk ke dalam rawa-rawa dimana mekanisme alam masih sama seperti ribuan tahun yang lalu, memangsa atau dimangsa. Satu dua rumah menyembul di antara semak semak tanaman rawa, entah bagaimana mereka hidup dengan air semasif itu.
Galing mungkin akan terus seperti itu, menyisakan damai tanpa terusik kemajuan jaman. Entah kapan secuil tanah di Bumi Manusia ini akan dipeluk oleh Jakarta yang sudah terlalu besar dan rakus hingga melupakan bahwa disana negara Indonesia masih berdaulat.
Keren bro… Jadi ikut terhanyut ama suasana Galing yang damai, jauh dari segala kemudahan di Jawa 🙂
kyknya mainstreaming untuk pergi ke obyek wisata yang megah-megah di pusat2 negara perlu diubah ke penjelajahan ujung-ujung negeri kayak gini brooo….
Sejutuuu bangett 😀
Satu kata. Suka.
hahahaha….the melo side of me nih *ndelik*
mantap bro,,,suatu hari aku kan ke tempat ini
jelajah pulau2 indonesia selalu menarik ya cerita2nya…
wah saya orang mempawah aja belum pernah kesana mas 🙂 Menarik
wah…padahal cuma bbrp jam naek kendaraan darat ya bang..coba kesana deh