Sore itu matahari saya habiskan di ruangan imigrasi. Bermasalah dengan hal yang entah saya tidak tahu membuat saya kehilangan waktu di kedatangan singkat saya di Singapore. Setelah bertemu Ratna, teman sepermainan saya, yang ternyata teman satu kampus juga yang dulu saya tidak kenal karena saya belum terkenal, di HarborFront, saya mencari makan. Maklum, sudah hampir 12 jam saya tidak makan dan perut berteriak-teriak minta diisi.
Harbourfront menjadi gerbang Singapore ke Indonesia. Jika kita naik boat dari Batam, maka perjalanan akan selesai di pelabuhan ferry antar negara di Harborfront. Pelabuhan Ferry itu telah terintegrasi dengan dua buah mall, dan MRT station. Di harborfront juga terdapat line MRT yang menghubungkan pulau Singapore dengan Universal Studio, Sentosa. Selain MRT, siapapun yang hendak pergi ke Universal Studio, dapat menggunakan cable car yang melintasi selat diantaranya.
Ratna menunggu lebih dari 3 jam, tidak sambil merengut tapi tetap senyum sumringah bertemu sesama TKI di Singapore ini. Kami jalan ke hostel saya di Hongkong Road yang walau tampak sederhana, kamarnya berAC sangat dingin dan sarapannya enak.
Hotel saya di Clarke Quay sepertinya strategis. Dari Clarke Quay tidak jauh jika berjalan ke landmark-landmark yang dimiliki Singapore seperti patung Singa yang buntutnya mirip ikan itu, Fullerton hotel, si duren Esplanade dan Marina Bay Hotel, bangunan tinggi dengan kapal nyangsang diatasnya. Mau tau hotelnya? Perhatikan direction berikut ini:
Dari Clarke Quay MRT Station, carilah pintu keluar di persimpangan Merchant Road dengan Eu Tong Sen Street. nah, begitu keluar melihat udara segar, beloklah ke kiri, dan kiri lagi ke arah Eu Tong Sen Street (Tapi tidak semudah itu, tidak ada zebra cross jadi harus nyeberang ke seberang pintu keluar melewati merchant road, lalu nyeberang lagi dan nyeberang lagi, jadi anda harus menyeberangi 3 jalan untuk mencapai sisi Eu Tong Sen Street seberang pintu keluar Clarke Quay MRT station). Nah, belokan ke kanan pertama ada Hongkong Street yang disitu ada beberapa hostel di downtown dengan harga yang relatif murah dibanding tempat lain: 20 SGD. Nama hotelnya adalah City Backpacker Inn.
Galau menentukan dimana makan malam kali itu akhirnya kami terdampar makan soto. Bukan 5000 seperti di Yogyakarta, atau 8000 seperti di Jakarta, soto kali itu merenggut uang saya hampir 30 ribu rupiah (3,5 SGD), dengan segelas es teh tawar seharga 10.000 (1,2 SGD). Waduh, langsung berasa sangat miskin disana. Karena judulnya jalan-jalan 50 Dollar Singapore, saya tidak mengambil dessert maupun appetizernya.
Hitung-hitungan, dari 50 SGD yang saya bawa sudah terpakai untuk hotel 20 SGD, beli es leci 1 SGD, Tiket MRT dari Kranji ke Harborfront 3,6 SGD dan tiket MRT beberapa kali sebanyak 5,4 SGD. Dan, uang 20 SGD tersisa sebagai harta yang paling berharga saat itu.
Berjalan kaki dari Clarke Quay ke Marina Bay merupakan favorit guide saya saat itu. Memamerkan seluruh apa yang dimiliki Singapore, kemajuan yang telah dicapai singapore membuat saya takjub. Penduduk dimudahkan untuk melakukan segala kegiatannya dengan menyumbangkan keping demi keping dollar ke pemerintah.
Kota ini relatif aman, walau begitu kata Ratna, low violence bukan berarti zero crime. Tapi tetap saja orang-orang merasa aman sekedar jalan kaki dan tidur-tiduran sampai pagi di pinggir jalan tanpa diganggu oleh preman. Berjalan pelan-pelan ke Marina Bay saya melewati hotel legendaris di Singapore, the Fullerton.
Hotel ini pada mulanya adalah sebuah benteng yang dibangun di awal abad 19. Penamaan Fullerton berasal dari nama Robert Fullerton, gubernur pertama di Singapore pada masa era kolonial Inggris. Bangunan ini kemudian dibangun menjadi sebuah hotel bintang lima di tahun 1920 dan sekarang menjadi salah satu hotel termewah di Singapore dengan harga mulai 250 USD lebih permalam.
Di bagian depan Fullerton, saya melihat pemandangan yang luar biasa, Marina Bay dengan banyak landmarknya yang unik dan megah. Patung Singapore berdiri disinari ratusan watt lampu dengan moncong si singa memancurkan air. Ternyata ada juga miniatur patung di dekatnya yang dikerubungi banyak wisatawan untuk berfoto disana.
Dan pembicaraan berlanjut ngalor ngidul tanpa mempedulikan gerahnya udara di Singapore. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, asmara dan selalu ujung-ujungnya galau karena masih single di usia segini 😦 Berasa main di film Before Sunset atau Before Sunrise yang dibintangi Ethan Hawke dan Julia Delphy itu.
Kami melanjutkan jalan-jalan setelah membeli minum di basement suatu jalan yang saya lupa namanya. Wow, terlihat seperti jalan biasa di atasnya ternyata bangunan mall atau perkantoran terletak di bawah tanah dengan ukuran raksasa. Harga makanan minuman di Marina bay ini ternyata agak lebih mahal dari tempat lain di Singapore. Membeli sebungkus choco chips dan sebotol air mineral kami mendatangi Marina Bay Sand Hotel. Oiya, jangan buang botol air mineral disini. Banyak booth-booth air minum sehingga botol bisa diisi lagi dengan gratis. Itung-itung hemat beb…
Saya pikir agak nyeleneh juga kota ini. Pedestrian yang umum digunakan untuk mencapai suatu tempat dilewatkan di dalam bangunan hotel, atau mal. Jarang kita temui di Indonesia, jalan umum untuk pejalan kaki melewati lobby hotel, atau bagian dalam mal mewah seperti disini.
Saya hendak menuju ke Garden by the Bay, landmark baru Singapore yang dibangun diatas tanah reklamasi ketika Ratna memilih jalan pintas untuk menuju tempat itu melalui dalam Marina Bay Sand Hotel. Wah, saya takjub sendiri melihat hotel sedemikian besar ada jembatan besar diatas lobby untuk menuju ke Garden by the Bay.
Dari Marina Bay Sand, terdapat eskalator yang menyeberangi jalan untuk langsung menuju ke Garden by the Bay. Damai sekali disana. Lampu-lampu yang dikeluarkan pohon-pohon raksasa itu memberikan efek rilex kepada siapapun yang ada di bawahnya. Kita bahkan bisa naik ke atasnya untuk melihat seluruh Marina Bay dari atas, tapi tidak dengan sisa 20 SGD yang saya miliki ini.
Taman tropis yang mengelilinginya diberi bunyi-bunyian artifisial seperti suara burung, jengkerik dan tiupan angin untuk menambah suasana relax yang hendak dicari banyak orang jika kesini. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam namun beberapa orang masih tampak sekedar ngobrol di bawah pohon-pohon buatan ini.
Saya pikir Singapore ini seperti game theSims, atau Empire Earth. Bangun, bongkar, bangun, bongkar untuk terus menambah fasilitas salah satu kota terkaya di Asia ini. Pajak berlimpah akhirnya digunakan pemerintah untuk mempercantik kota karena mereka nyaris tanpa pengeluaran untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan rakyat seperti memerangi kejahatan atau membangun infratruktur primer karena semua sudah tersedia.
Puas ngobrol di bawah pohon, saya melanjutkan perjalanan ke sisi lain Marina Bay melalui bayfront road untuk mendekati Singapore eye, sebuah bianglala untuk melihat seluruh bagian selatan negara Singapore. Lagi-lagi saya kepentok biaya dan juga sudah terlalu larut malam untuk mencobanya.
Berlama-lama di marina bay memang menimbulkan sensasi sendiri. Selalu ada yang dilakukan, bersantai dan menikmati pemandangan buatan manusia yang sangat menarik itu. Waktupun tidak terasa berjalan dengan cepat. Setengah empat pagi, sayapun kembali ke hostel saya
foto lo keren2 bro
Reblogged this on MedCheminSingapore by Sushma Wang.
liat foto paling bawah…itu made in wikipedia…hahaha. foto gw gagal semua di garden by the bay