Kota Sambas itu panas, sepanas orang-orang Dayak dan Madura yang berseteru hingga sekarang. Tidak ada satu awanpun menghiasi langit di siang itu, seperti halnya (konon) tidak ada satupun orang Madura yang dijumpai di sisa-sisa tanah kerajaan besar yang pernah berdiri beberapa puluh tahun yang lalu disini. Keraton Sambas masih berdiri terawat di tengah kerusuhan yang terjadi di Sambas beberapa tahun yang lalu. Kerusuhan telah meninggalkan duka bagi banyak orang yang kehilangan keluarga, harta dan bendanya.
Tanah-tanah yang dulu menjadi milik orang Madura terbengkalai belum terbangun walaupun daerah ini sekarang bersikeras menjadi hub- antar negara untuk menyaingi Entikong-Tebedu yang maju saat ini. Di Kota ini pula negara terakhir hadir ketika aspal mulus dari Pontianak tiba-tiba menghilang pada batas kota yang menuju ke perbatasan yang masih empat jam perjalanan meninggalkan jalan-jalan berbatu dan berdebu.
Melanjutkan perjalanan saya dari Singkawang, kami melewati beberapa kota kecil dengan pusat keramaian yang meriah. Pemandangan khas ruko-ruko sederhana dengan bangku-bangku plastik merah hijau biru ditata menghadap sebuah meja: local cafe. Mereka menyediakan teh, kopi dan minuman-minuman instan dengan obrolan-obrolan yang jauh dari politik negara yang super semrawut. Setidaknya ada empat kota pusat keramaian yang saya lewati dari Singkawang ke Sambas.
Di kota Sambas pula, angkutan negara: Damri, menghentikan perjalanan lima jamnya dari Pontianak. Damri Pontianak Sambas beroperasi dengan menggunakan Bus berpendingin udara dengan harga Rp. 105.000. Damri memang melayani rute-rute antar negara dari Kalimantan Barat ke Brunei dan rute Pontianak – Sambas yang tergolong baru ini cepat diminati penduduk lokal karena tidak adanya angkutan antar kota yang jadwalnya teratur dan menggunakan bus yang nyaman.
Sayangnya bus Damri ini tidak mengawali rutenya dari bandara Supadio. Bus akan start di dekat Pasar Flamboyan di jalan Gajah Mada dan di Sambas, bus akan berhenti di pasar Sambas. Perjalanan dari Pontianak ke Sambas membutuhkan waktu lima jam dengan kondisi jalan yang mulus.
Panasnya udara kota Sambas mencapai puncaknya ketika siang hari. Tidak ada satupun awan yang tampak di langit untuk menutupi matahari yang bersinar dengan kuatnya. Kota ini bagai tidur siang dengan sedikit sekali aktivitas penduduk yang tampak. Di masa yang akan datang mungkin kota ini akan maju, semaju perkembangan infrastrukturnya yang mendahului kebutuhannya…
*****
Wahhh menarik juga ya kayaknya kalo overland dari Pontianak ke Sambas lanjut Kuching 🙂
mau dicoba bro? worth lho….!
Wah baru tau ada bis dari Pontianak ke Kuching. Tempat yang menarik di Sambas apa aja ya? Atau emang cuma tempat lewat aja nih? 🙂
Ada keraton Sambas mas. itu salah satu heritage yang sudah berabad abad masih terawat disana.
Dengar kata Sambas yang terbayang langsung cerita tragis beberapa tahun lalu.
iyo mbak…sekarang masih sepi banyak properti belum dihuni walau pemerintahnya udah keren kasih fasilitasnya
Aku gak ngerti blas tentang sambas. Ternyata dee mlebu kalimantan to, berati Indonesia. Tak kiro Malaysia. Soale aku rancu karo kalimat “Damri memang melayani rute-rute antar negara…” trus disebut Pontianak – Sambas.
Ada dua rute mas ndop. Sekarang sudah ada tiga rute malah. Yang lewat Sambas, itu melalui perbatasan Aruk setahu saya, bukan entikong