Syahdan di sebuah tempat yang damai tepat di tengah pulau Jawa, dewa dewi turun dari langit menemui umat manusia. Tempat yang indah itu kemudian diberi nama Dieng yang berasal dari dua suku kata ‘Di’ yang berarti Tempat tinggi, dan ‘Hyang’ yang berarti Dewa Dewi. Nama Dieng sendiri konon berasal dari Bahasa Sunda yang sudah dikenal sejak abad ke 6 masehi pada masa kerajaan Medang dimana tempat ini diyakini adalah pemindahan dari Gunung Meru di India tempat bersemayamnya dewa-dewa Manusia di masa lampau. Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Kalingga kemudian mendirikan Candi Arjuna di tengah Dieng, di tempat datar pada ketinggian lebih dari 2000 meter dpl yang diperuntukkan untuk dewa dewi dan menjadikan tempat ini menjadi pusat aktivitas di kemudian hari. Sunyi dan damai masih menyelimuti kawasan Dieng hingga sekarang dengan suhu sejuk yang tetap terjaga.
Dieng kini memang berkembang menjadi sebuah tempat kecil yang terkenal sebagai tujuan wisata dimana suhu masih terjaga dari 0 derajat celcius di musim kemarau hingga 20-25 derajat, tidak lebih dari itu. Kota kecil nan damai yang merupakan salah satu yang tertinggi di Jawa Tengah itu kini menggeliat menawarkan pesonanya bagi pencari keindahan alam.
Tidak sulit untuk berkunjung kesana. Kendaraan yang sehat memang diperlukan untuk menaiki beberapa tanjakan curam di tengah kabut tebal yang kerapkali menyelimuti keindahan alamnya. Jika menggunakan kendaraan umum, cukup membayar kurang dari 15 ribu dan serahkan perjalanan anda ke supir bus umum yang melayani jalur Wonosobo – Dieng dan biarkan mata kita menikmati keindahan alam sekitar.
Dieng juga surga untuk pecinta kegiatan alam terbuka. Gunung Prau, Bukit Sikunir, dan juga berburu sunrise di Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa ini cocok sekali untuk melihat matahari terbit di moment tahun baru yang diburu oleh banyak orang. Aktivitas volkano di kawasan dieng menghasilkan banyak keajaiban alam yang tidak banyak ditemui di tempat lain.
Karena tingginya aktivitas vulkanologi di Dieng, beberapa retakan bumi muncul sebagai kawah yang menghasilkan semburan gas-gas yang di waktu tertentu menjadi mematikan bagi manusia. Kawah-kawah ini masih aktif hingga sekarang dan menjadi obyek wisata alam yang langka. Beberapa diantaranya adalah Sileri dan Sikidang.
Cekungan-cekungan yang terbentuk dan terisi air menjadi daya tarik wisata telaga dengan keistimewaan khusus karena tempat-tempat ini pada masa lalu menjadi tempat khusus untuk pertapaan. Sebut saja Telaga Warna di Dieng ini selain keindahan telaganya yang bisa berubah warna sesuai dengan aktivitas mikroorganisme dan sulfur, tempat ini juga dilengkapi dengan gua-gua yang menjadi tempat pertapaan. Gua Semar Pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati yang terdapat di Telaga Warna hingga saat ini masih dipergunakan sebagai daya tarik wisata minat khusus dimana mitos-mitos yang beredar seperti penyembuhan penyakit dan obat awet muda dapat ditemukan disini.
Waktu yang terbaik untuk mengunjungi Telaga Warna adalah di saat pagi atau siang hari karena pada sore hari, kabut tebal akan menutup keindahan pemandangan, terutama latar belakang Gunung Sindoro yang diam jauh di belakang pemandangan yang disuguhkan.

Aktifitas mikroorganisme dan sulfur membuat danau ini berubah-ubah warnanya sesuai tingkat sinar matahari yang menyinari
Beberapa obyek lain seperti sumur Jalatunda yang merupakan kawah yang terbentuk dari aktivitas vulkanologi juga sangat menarik untuk dilihat. Sumur dengan lebar sekitar 200 meter dan kedalaman 90 meter ini merupakan akibat dari aktivitas gunung merapi tua jutaan tahun yang lalu dengan warna hijau pekat karena tidak adanya aliran air yang lancar di dalamnya. Untuk mencapai sumur ini pengunjung harus menaiki 250 anak tangga. Mitos yang beredar bahwa sumur ini dapat mengabulkan permintaan bagi pengunjung yang dapat melempar batu sejauh mungkin.
Percaya atau tidak, mitos-mitos yang melekat pada setiap daya tarik wisata di Kawasan Wisata Dieng adalah kepercayan turun temurun yang sudah ratusan tahun menjadi kearifan lokal bagi penduduk setempat. Bagi saya, Dieng tetap menjadi tempat yang damai, dimana dewa dewi masih berkenan tinggal disana karena keindahan alamnya yang tidak tersaingi di tempat manapun…
duhh udah pada bikin postingan aja, aku kok masih males2an yaaaa *tenggelam di tumpukan deadline kantor*
lha ini aja dicicil udah tiga hari baru jadi…padahal katanya beberapa tmn mau bikin 5-8 tulisan famtrip kemaren…hahaha aku aja dah 3 bulan baru nulis lagi..kwkwkw
ah tetep luar biasa kak Tulus ini, disela kesibukannya di dunia tarik suara masih menyempatkan untuk bikin postingan 😛
tuh kaaan jadi diceng2in daaah
Dieng itu, indah di tengah ancaman marabahay setiap saat (letupan gas). Semoga tetap harmoni 🙂
kak tulus..ahahahahaha
*uda cuma pengen ngecengin :p
asem kau laeee
aiih udah pada bikin tulisan untuk famtrip kemarin
kalo ndak, selak males jeeeh…haha
Kak Tulus, aku kepengen ke dieng lagi, sendiri aja terus cuma bersantai-santai aja di sana kayaknya enak…
bawa selimut tebel sendiri, trus nyewa kamar yg ngadep ke kebun teh, sambil baca buku…ketoke enak.
Loooh.. serius amat ini bahasa penulisanmu..
Buat pembaca2 sekalian, si empunya blog ini gak seserius ini kok. Anaknya enak diajak ngobrol hahaha..
Btw, kok kita gak mengunjungi foto2 di awal itu yaaa… Kemarin itu penuh kabut sehingga raiso ndelok pemandangan di bawah.
Btw, Sing longsor ndik tipi kuwi lak yo dalan sing kita lewati gak ya? Serem.
pemirsa…ini orang profesyenal lho…silakan dibaca blognya juga, sukur pesen gambar vektornya *bantuin promosi*
Hahaha tak rekrut dadi karyawanku lo ngko. Tak bayar rongewu sedino
haha…sudah dibicarakan kan? ttp dpt keuntungan lhooo
Duit buat kamu khan bukan apa-apa, yg penting kasih sayang. Huahahahaha
Kak Tulus… kalo mau ke Dieng lagi ajak saya ya…
Kak Tulus reuest lagu donk *ngakak*
😦 ra konco tenan iks