Dalam perjalanan dari Mempawah ke Sambas, kendaraan saya melewati sebuah kota yang lengang. Saat itu sudah mendekati tengah malam ketika saya harus membeli bensin tepat sebelum kenaikan harga bensin menjadi Rp. 6500. Tidak ada antrian bensin di sana seperti halnya di Jawa. Usut punya usut itu karena bensin memang sudah semahal itu sebelum naik di Pertamini, istilah mereka untuk penjaja bensin eceran di pinggir jalan karena minimnya SPBU resmi di Kalimantan Barat itu.
Saya melewati deretan ruko-ruko bergaya klasik dengan pengaruh China yang kental, beberapa kelenteng,-istilah saya untuk menyebut kuil Budha/Vihara- saya lewati begitu saja karena memang suasananya benar-benar sepi. Ternyata kota itu adalah Singkawang, berasal dari bahasa Hakka San Keuw Jong atau Shānkǒu Yáng yang merupakan tempat singgah para penambang emas pada waktu itu.
Malam itu keramaian hanya ada di sebuah ruas jalan bernama jalan Bawal yang menjajakan makanan kecil di mobil-mobil bak dengan etalase kaca yang diberi neon terang, menerangi makanan warna warni dan ‘memaksa’ saya untuk mampir membeli beberapa makanan khas yang belum pernah saya coba. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai pasar Hongkong.

Pasar Hongkong (courtesy of http://www.detik.com)
Makanan berupa beras ketan tepung yang diberi minyak wijen dan isi berupa daging dengan parutan kelapa, juga pai yang mirip dengan pia legong dari Bali dan pai buah lezat saya coba malam itu dengan harga yang relatif murah mulai dari 1000 rupiah hingga 2000 rupiah saja.
Selepas membeli beberapa makanan kecil itu saya melanjutkan memacu kendaraan ke Sambas yang masih dua jam perjalanan dari Singkawang. Sepanjang perjalanan saya masih takjub dengan kota yang muram itu dengan kondisinya yang kusam di lorong-lorong sempit yang sempat saya putari itu. Kota Singkawang hanya sebuah kota kecil namun langsung arsitekturnya membuat saya langsung jatuh hati
Karena rasa penasaran dan cerita dari adik saya yang katanya banyak makanan enak bertebaran di Singkawang membuat saya ingin kembali lagi di hari berikutnya.
Benar, hari berikutnya saya sempatkan kembali lagi ke Singkawang melihat keramaian siang dan sore hari di Singkawang itu. Saya mengendarai sendiri kendaraan saya dan kembali ke kota yang ternyata sangat ramai di siang hari tersebut.
Satu vihara besar menjadi pusat perhatian jika kita melewati kota itu. Bangunan yang didominasi warna merah itu tampak mencolok mata dibanding ruko-ruko kusam yang mendominasi kota itu. Vihara Tri Dharma Bumi Raya merupakan Vihara pertama di kota itu dan disusul dengan pembangunan banyak kuil sehingga Singkawang juga dikenal dengan nama Kota Seribu Kuil.
Sebuah sungai kecil yang saya tidak tahu namanya membelah kota ini dengan cantiknya yang kelok-keloknya dilalui oleh jembatan-jembatan untuk jalan umum, mengingatkan saya pada kota Malaka yang telah dieksploitasi oleh pemerintah Malaysia menjadi spot turis yang cukup terkenal di Semenanjung Malaysia.
Bukan tidak mungkin Singkawang kemudian dapat menjadi spot wisata yang sangat menarik jika masyarakatnya memoles kota itu dengan warna-warna khas dan disinari lampu-lampu sorot merah kuning seperti di Malaka. Pengaruh china yang kental juga dapat kita lihat dari banyaknya tulisan mandarin dan warung-warung makanan mandarin yang ternyata banyak juga yang halal. Walau mempunyai pengaruh china yang kuat, budaya islam juga mempengaruhi mereka dengan wilayah ini yang memang merupakan bagian dari kesultanan Sambas di masa lalu.
Memarkir kendaraan di salah satu ruas jalan, saya kemudian berjalan melihat lorong lorong di Singkawang yang unik dan eksotik itu. Mereka membuka toko dengan kesederhanaannya dengan barang yang dijual rata-rata kebutuhan sehari-hari. Kelap-kelip lampu board-sign tiap toko menambah kemeriahan singkawang yang saat itu sudah mulai gelap.
Sebuah rumah makan halal yang cukup klasik bernama Bakmi Ayam 68 yang memang menjual mie ayam kemudian saya jadikan sebagai tempat makan malam waktu itu.
Memesan mie ayam komplit dan es namnong, seperti es jeruk dengan buah namnong membuat rasa minuman yang saya pesan itu menjadi khas seperti asinan buah. Mie ayamnya sendiri diberi udang dan ke kiang udang yang merupakan ciri khasnya.
Ternyata walau kota ini didominasi oleh suku Hakka, penduduk pendatang melayu juga memberi pengaruh kuat kebudayaan di Singkawang ini. Selain itu terdapat orang jawa, tio ciu dan juga dayak sebagai pribumi di wilayah itu.
Singkawang yang berada di tepi laut ini juga mempunyai pantai favorit sebagai tourist spot bernama pantai pasir panjang yang sekarang sudah dilengkapi beberapa fasilitas pendukung seperti banana boat dan para sailing.
Saya bermimpi tempat ini akan menjadi tempat yang sepopuler malaka di masa depan, dipenuhi dengan penjual souvenir dan juga makanan khas yang tertata rapi dengan kursi-kursi bertebaran di pinggir jalan menjajakan makanan ringan dan minuman seperti yang banyak saya lihat di sepanjang perjalanan saya di Kalimantan Barat. Semoga…
Pingback: Bukan Raja Ampat, Ini Dia 5 Destinasi Impian Indonesia versi #TheTraveLearn | The TraveLearn·
mampir mas..sy org jawa (asli jogja) tinggal di singkawang
wah disana banyak ya pendatang dari jawa. Punya usaha disana mas toto?