 |
Netaji Subash Chandra Boshe Airport |
Siapa berani ke India? Mungkin akan tidak banyak yang berani ke India karena kurangnya ketertarikan dan informasi mengenai negara yang sebenarnya menyimpan banyak sekali pemandangan dan peninggalan masa lalunya yang panjang.
Setelah menginap satu malam di Kuala Lumpur, sore itu, Sabtu, 19 Januari 2013 pesawat saya bertolak ke Kolkata. Kota di Provinsi West Bengal ini memang selalu menarik perhatian saya dengan bayangan kemiskinan dan slum area yang luas. Bahkan Mother Teresa pun tinggal lama di kota ini untuk memerangi kemiskinan yang memang masih terasa hingga sekarang.
Sore itu sayapun tiba di Kolkata tepat seperti yang dijadwalkan, pukul 16.00 waktu setempat. India mempunyai perbedaan waktu 90 menit di belakang Indonesia. Matahari terik ketika pesawat masih di atas awan segera berganti menjadi udara sejuk dan pemandangan berkabut yang menyelimuti Kolkata. Temperatur sekitar 19 derajat celcius terasa sejuk dan ringan di bandara kecil yang cukup tenang itu. Matahari tidak tampak lagi tertutup awan tebal sehingga udara terasa makin dingin.
Setelah melalui proses imigrasi, kami segera keluar dari airport dan menjumpai taxi prepaid, semacam loket pembayaran untuk taxi dengan tujuan manapun dibayar dimuka untuk mencegah terjadinya scam yang merugikan.
Ini hal pertama yang saya suka di India, kepastian harga bagi budget traveler seperti saya yang membawa uang saku tidak banyak ketika bepergian. Kami membayar 440 rupee atau sekitar 80.000 IDR di loket khusus untuk satu mobil taksi yang bisa dinaiki maksimal 4 orang dengan perjalanan lebih dari satu jam menembus hiruk pikuk lalu lintas Kolkata.
Saya agak takjub ketika rombongan kami keluar dari bandara yang hening itu. Puluhan taxi sudah berjajar jajar menunggu penumpang untuk membawa ke tujuan masing-masing. Tujuan saya adalah stasiun Howrah Junction di sisi lain kota yang cukup jauh karena saya telah booking tiket kereta dari Kalkuta menuju Varanasi.
Agak disayangkan juga ketika Kalkuta terlewat begitu saja mengingat waktu yang sangat terbatas saya belum dapat menikmati hiruk pikuk kota yang menurut saya sangat eksotis. Kota ini sedang membangun besar-besaran untuk memfasilitasi penduduknya yang sangat banyak, meninggalkan tumpukan material dan debu yang sangat tebal beterbangan di udara.
Taxi melaju pelan diantara kendaraan lain, dan saya cukup khawatir juga tertinggal kereta yang akan berangkat pukul 20.00. Lalu lintas Kalkuta tidak hanya diramaikan oleh mobil dan motor tapi juga trem tua yang membelah jalan dengan pelan. Satu dua sapi tampak dengan elegannya berjalan-jalan dengan santai tanpa takut akan pisau jagal. Ya, Sapi masih menjadi makhluk suci bagi bangsa India yang harus dihormati walau meninggalkan kotoran dimana-mana.
Setelah hampir tertabrak trem dan menghindari beberapa Sapi di tengah jalan, akhirnya kami tiba di Howrah Bridge yang megah yang membelah sungai Hooghly. Diseberangnya persis, terdapat Howrah Junction, stasiun tersibuk di West Bengal. Ribuan orang lalu lalang mencari platform kereta yang akan membawa mereka ke tempat lain.
Setelah berjalan kebingungan akhirnya kami dapat menemukan kereta kami, Vibhuti Express yang akan membawa kami ke Varanasi dengan lama perjalanan 13 jam 30 menit. Kami sengaja membeli 2 kelas tiket sekaligus untuk berjaga-jaga kemungkinan habisnya tiket disana. (untuk melihat penjelasan sistem ticketing kereta di India, saya sarankan untuk membaca tulisan saya dengan title: “clear trip”)
Setelah tahu gerbong kami, kami segera naik ke gerbong 4 Vibhuti Express. Salah satu teman saya masih berstatus waiting list yang dapat kami tahu dari chart penumpang yang ditempel di tiap gerbong. Akhirnya kami nekadkan masuk walau penumpang berstatus waiting list tidak boleh masuk kereta dan dapat mengambil kembali uangnya kemudian.
 |
Vibhuti Express kelas AC Tier 3 |
Pukul 20.00, kereta berjalan tepat waktu membawa kami ke Varanasi.