Kota Beijing terasa lebih menarik di musim dingin. Perpaduan salju yang menurut saya memberi kesan klasik berpadu dengan indahnya bangunan bergaya China yang masih ditemui dimana-mana. Mendung berkabut masih menyelimuti kota Beijing pada hari kedua saya disana. Pemandangan kaum urban bergaya hidup modern dengan gadget maupun gaya rambut yang stylish kontras dengan tingkah laku militer dengan mantel panjang dan topi China yang khas dan berkesan sesuatu dari masa lampau.
Hari ini saya merencanakan rute city explore yang saya mulai dengan mengunjungi Summer Palace di sebelah barat laut kota Beijing. Perjalanan ke Summer Palace sekarang dapat ditempuh dengan menggunakan Metro Beijing Subway Line 4 maupun calon dari line 15. Untuk seorang budget traveler seperti saya, China mendapatkan label ‘easy to go everywhere’ dari saya karena hampir seluruh kota-kota besar di China telah maju sistem transportasinya. Begitupun Metro Beijing Subway yang bertarif hanya 2 CNY (sekitar 3000 rupiah) untuk semua tujuan ini mempermudah saya menjelajahi kota dengan mudah dan murah.
Dari Tiananmen Square saya naik line 2 di Stasiun Qianmen dan berganti ke Line 4 di Stasiun Xizhimen kemudian turun di Stasiun Beigongmen dimana North Gate dari Summer Palace yang luas itu hanya sekitar 200 meter dari stasiun.
Sayapun tiba di loket utara, dan setelah membayar 40 CNY pemandangan gerbang utara di depan Pine Hall yang megah dan menakjubkan segera bisa saya abadikan dengan kamera saya.
Komplek Summer Palace seluas 2,9 kilometer persegi ini akan menghabiskan waktu seharian untuk menjelajahi setiap bagiannya. Spot yang paling menarik bagi saya adalah danau Kunming yang membeku yang meliputi 75% luas Komplek Summer Palace.
Susah bagi saya membayangkan berapa banyak biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk membangun komplek istana seluas dan seindah ini. Sekali lagi bangunan-bangunan yang berdiri menceritakan proses kehidupan manusia yang bermuara pada konsep ketuhanan mereka. Butuh ratusan tahun yang dimulai dari Emperor Wanyang Lian di abad 11 hingga awal tahun 1900-an untuk melengkapi bangunan istana yang sekarang saya lihat ini.
Tak terasa waktu sudah semakin siang, sayapun bergegas untuk kembali ke pusat kota untuk mengunjungi obyek lainnya. Nah, saatnya mencari sesuatu untuk souvenir, sesuatu yang simple: magnet kulkas! Setelah melihat peta dan bertanya pada beberapa orang, saya disarankan untuk ke Silk Market, bangunan besar dan modern penuh dengan penjual berbagai macam komoditas termasuk souvenir beraneka macam. Saya pun mencari Yong An’li station di Line 1 beijing Metro Subway. Silk Market yang terdiri dari delapan lantai itu terhubung dengan Yong Anli Station di basementnya.
Silk Market ternyata semacam pusat grosir yang sangat besar. Barang-barang dikelompokkan berdasarkan lantai. Lantai satu untuk foodcourt yang sangat luas, lantai dua untuk elektronik, kemudian lantai berikutnya terkelompokkan komoditas garmen, handycraft dan seterusnya. Nah, hanya saja, barang yang ditawarkan disini cukup tinggi sehingga pandai-pandai kita menawar barang untuk mendapatkan harga yang pas dengan budget kita.
Karena saya tidak pandai menawar, saya hanya membeli magnet kulkas dengan harga 7 CNY perbuahnya. Itupun sempat diteriak-teriakin oleh penjualnya karena saya menawar dari harga 25 CNY akhirnya saya jatuhkan 100 CNY untuk 15 biji magnet kulkas.
Wah, cukup membuat kapok juga cara pedagang di Silk Market ini. Harus melalui serangkaian proses saling berteriak marah dulu untuk mendapat harga yang rendah. Saya pikir bukan marah ding, tetapi tipikal orang China yang berbicara cepat dan kencang membuat mereka tampak seolah-olah marah pada pembeli yang menawar.
Beruntung saya mengajak Chris, seorang wisatawan asal Amerika yang setia menemani saya jalan-jalan ala backpacker hari ini. Dari Chris saya mendapatkan info bahwa ada street market dengan harga yang lebih manusiawi yaitu di Wangfujing yang dapat ditempuh hanya dua stasiun setelah Stasiun Yong Anli di Line 1. Saya, Chris dan teman saya segera pindah ke Wangfujing untuk mencari harga yang lebih murah disana.
Keluar dari Stasiun Wangfujing kami disambut suasana yang cukup ramai dan meriah. Udara dingin malam itu cukup terhangatkan dengan banyaknya aktivitas di jalan ini. Walaupun sebuah street market, Wangfujing sungguh bersih dan tertata baik. Di sebuah jalan kecil sebelah kiri Wangfujing terdapat food market dan ratusan pedagang souvenir yang menjadikan tempat itu sangat menarik dikunjungi. Ternyata jalan Wangfujing itu telah ada selama berabad-abad semenjak Ming Dinasty berkuasa di China. Tanpa sadar, saya juga mengunjungi sesuatu dari masa lalu China yang telah dikemas dengan modern dan apik.
Beberapa pedagang street food bahkan menjual sate yang dibuat dari binatang-binatang yang menurut saya extraordinary untuk dimakan seperti Kalajengking, Bintang laut, Kuda laut dan lainnya. Harga di tempat ini lebih rendah dari yang ditawarkan di Silk Market begitupun dengan magnet kulkas yang hanya ditawarkan dengan harga 4 atau 5 CNY. Wah, rugi sekali saya membeli dengan harga 7 Yuan di Silk Market.
Angin bertiup diantara bangunan yang membentuk lorong sehingga suhu udara dibawah 0 derajat celcius malam itu terasa membekukan tangan saya. Dan sayapun tak bisa berlama lama disana karena badan mulai terasa kaku terkena sapuan angin malam itu. Setelah membeli beberapa gantungan kunci saja, saya dan kedua teman saya meninggalkan tempat itu untuk ke spot ke empat di hari itu: National Stadium.
Pingback: Beijing National Stadium | Me Against the Distance·
i couldn’t imagine how freezing was that 🙂
colder than europe’s winter..hahah