Pulang dari jalan-jalan lagi ke luar negeri, dan sempet ngikutin tur wisata yang mereka buat di vietnam, di kamboja dan di thailand, rasanya miris banget ngelihat adanya perbedaan yang besar tergarapnya pariwisata kita dengan luar negeri.
Kita ambil contoh saja paket wisata yang ditawarkan, belum banyak turis-turis yang datang mampu digiring ke paket wisata yang beragam, yang sesuai style dan tentu saja sesuai budget mereka yang juga beragam. Yang perlu diingat adalah, tidak semua turis asing datang ke Indonesia itu punya uang cukup buat bepergian sejauh mungkin, sebanyak mungkin tempat dan merasakan hal yang baru yang gak mereka rasain di luar negeri.
Gak usah jauh-jauh di daerah lain, di Jogja, saya lihat mereka yang datang kesini ‘cuma’ disuguhi sendratari ramayana, paket wisata ke candi borobudur, dan prambanan. atau ke kraton Yogyakarta lah. dan paket itu harganya juga kadang ga masuk akal, sampai ratusan ribu IDR.
Di banyak tempat, harga tiket masuk utk wisatawan mancanegara dan lokal yang dibedain itu juga masih terlihat banget bagaimana kita memperlakukan turis bak ladang uang, yang akhirnya ladang itu over-harvest, dan ladangnya akhirnya kapok datang ke Indonesia lagi. Seharusnya pemerintah mulai memikirkan bagaimana regulasi yang fix untuk mengatur pricing. Misalkan dibedakanpun, ada regulasi yang jelas, bukan hanya main kemplang (yang banyak dilakukan orang Indonesia, bahkan kepada sesamanya).
Saya kemarin mencoba delta mekong tour yang harga paketnya hanya 7,5 USD. Mau tau apa yang saya dapat? Saya dapat perjalanan by bus selama 4 jam PP, dengan sekali makan siang di tempat penangkaran buaya, dapat kapal menyeberang ke 4 pulau, maen sampan-sampanan yang bisa dayung sendiri, disuguhi nyanyian lokal sambil makan buah segar, naek pedati yg ditarik kuda, dan gratis ke tempat souvenir. dan itu one day tour.
Kalau dibandingkan, saya cuma kayak naek kapal nyeberang sungai besar, trus liat pohon kelapa, dimana turis-turis yang berkulit putih itu heboh sendiri motret pohon kelapa, trus beli oleh-oleh arak nira kelapa, nougat kacang, dan tas-tas lokal yang dijual 2-10 USD. tidak beda jauh seperti saya di purworejo jawa tengah, trus pindah ke Madiun dimana nerobos-nerobos gua bikinan tentara perang, trus naek pedati seperti jaman saya kecil dulu. Oke-lah, mereka jual itu dengan harga 7,5 USD, tapi penghasilan tambahan yang bisa diperoleh mereka bisa diratakan dari penjualan buah lokal sepanjang jalan, penjualan sovenir yang lebih murah dari pada di Hochiminh City, belum lagi tips-tips yang diberikan pada pendayung kapal yang sekitar satu dolar, hasilnya, mereka mendapatkan beberapa belas dolar tambahan tanpa kentara. Nah, kenapa kita tidak membuat low-end budget package tour begitu ya?
Dengan alam kita yang lebih beragam, kita bisa dapat lebih banyak sebenarnya. Membawa turis-turis berjemur di pantai gunung kidul yang tenang, dengan ombak yang lebih tenang, dan pasir putih, cuma ongkos bensin dan biaya masuk, pastilah bisa memuaskan hasrat berjemur tanpa diserobot oleh pariwisata di phuket, patong, pattaya, koh samui, atau tempat lain yang sebenanrnya bagus karena fasilitas. Kita bisa juga mengeksploitasi wilayah dingin di seputaran merapi tanpa membebankan mereka ongkos terlalu tinggi. Hanya bermodal minibus, atau kendaraan pribadi saja, dan bekerja sama dengan pemilik sepeda di daerah perkebunan, dan jangan lupa:”senyum” pastilah paket wisata kita akan lebih diminati.
Jangan lupa juga, rumah penduduk kan sebenarnya bisa digunakan utk menginap. Dengan memberi pengertian supaya sadar wisata kepada seluruh orang, sebenanrnya setiap orang dapat mendapatkan hasilnya tanpa modal terlalu besar. Hal itu juga memberi keragaman budget bagi turis asing yg middle – low budget yang selama ini belum tergarap dengan baik. Kita lebih menyerah kalah pada pemodal-pemodal besar yang berpayung Sol-Sol hotel, membuat paket wisata dengan bus sejuk, dan tur guide yang siap mengelap kaki para turis asing yang terkena debu lokal yang menjijikan justru bagi kita sendiri.
Saya jadi ingin mengembangkan pariwisata tanpa modal seperti ini, tapi memang butuh ketelatenan dan kerjasama yang baik diantara pelaku2 yang bukan pariwisata supaya paling tidak sadar bisnis sehingga seluruh pihak mampu diuntungkan baik itu kita, penduduk yang tinggal di daerah yang bisa diolah dan juga menguntungkan para wisatawan asing yang datang sehingga mereka betah dan mau kembali berkunjung ke Indonesia.. Siapa yang mau?
where is this place?
What place? in the picture? that is Bali, exactly in Kintamani